Saturday, June 23, 2007

Etika dan Prinsip-Prinsip Ekonomi Dalam Perspektif Islam

Tubagus Hanafi dan M. Fathoni (Program Pascasarjana Ekonomi Dan Keuangan Syariah
Universitas Indonesia, 2006)


Abstraksi

In recent times, Islamic economics has experienced vigorous pursuit among Islamic and non-Islamic thinkers alike. The need for Islamic Economics (IE) arose as more and more Islamic nations got independence from colonial power after World War II. They faced the challenge of development and self-reliance. Capital surplus from some oil exporters country in the middle-east came to acquire large sums of wealth, which managed to establish institutions that were claimed to be run on Islamic principles of finance, economics and social consciousness. While other country try to take the benefit of current condition to implement the Islamic Economics, especially after the monetary crisis in Asia. In general, the claim is made that Islamic Law (Shari'ah) becomes the centerpiece of the directions of Islamic Economics. What is need to be discussed here whether there is any significant morale and ethical role-play which differentiate the Islamic Economics from its counter-part, the classical economics or what mostly referred to as conventional economics. From there, we could derived the principles of Islamic Economics which would bring the logical workframe of Islamic Economics.

A. Pengantar
Kehadiran ekonomi Islam telah memunculkan harapan baru bagi banyak orang, khususnya bagi umat Islam akan sebuah sistem ekonomi alternatif dari sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme sebagai arus utama perdebatan sebuah sistem ekonomi dunia, terutama sejak usainya Perang Dunia II yang memunculkan banyak negara-negara Islam bekas jajahan imperialis. Dalam hal ini, keberadaan ekonomi Islam sebagai sebuah model ekonomi alternatif memungkinkan bagi banyak pihak, muslim maupun non-muslim untuk melakukan banyak penggalian kembali berbagai ajaran Islam, khususnya yang menyangkut hubungan pemenuhan kebutuhan antarmanusia melalui aktivitas perekonomian maupun aktivitas lainnya.[1]
Meskipun begitu, sistem ekonomi dunia saat ini masih dikendalikan oleh sistem ekonomi kapitalisme, karena umat Islam sendiri masih terpecah dalam hal bentuk implementasi ekonomi Islam di masing-masing negara. Kenyataan ini oleh sebagian pemikir ekonomi Islam masih diterima dengan kelapangan karena ekonomi Islam secara implementasinya di masa kini relatif masih baru, masih perlu banyak sosialisasi dan pengarahan serta pengajaran kembali umat Islam untuk melakukan aktivitas ekonominya sesuai dengan hukum Islam. Sementara sebagian lainnya menilai bahwa faktor kekuasaan memainkan peran signifikan, karenanya mengkritisi bahwa ekonomi Islam atau ekonomi syariah belum akan dapat sesuai dengan syariah jika pemerintahnya sendiri belum menerapkan syariah dalam kebijakan-kebijakannya.[2]
Tanpa menutup mata terhadap persoalan tersebut, sesungguhnya hal yang demikian itu justru dapat mendorong para pemikir muslim untuk banyak menggali keunggulan-keunggulan ekonomi syariah dibanding ekonomi kapitalisme (untuk selanjutnya disebut konvensional). Upaya ini perlu dilakukan agar dapat lebih meyakinkan para pemegang kekuasaan dan otoritas serta masyarakat muslim sendiri terhadap ekonomi syariah. Dan salah satu upaya tersebut adalah menggali keunggulan ekonomi Islam ditinjau dari sudut etika dan moral dalam aktivitas perekonomian. Hal ini menjadi penting, mengingat Fukuyama sendiri di dalam bukunya yang berjudul ‘Trust’ menekankan bahwa sistem ekonomi yang akan unggul di masa depan adalah ekonomi yang mengedepankan aspek ‘trust’ atau kepercayaan dalam praktiknya.[3] Walaupun Fukuyama mengkajinya dalam perspektif liberal, tidak menutup kemungkinan bagi para pemikir muslim untuk melakukan pendalaman kajian atas pandangan Fukuyama tersebut yang tentunya menggunakan perspektif ekonomi syariah.
Oleh karena itu, makalah ini tidak akan menyinggung secara mendalam perdebatan internal di kalangan umat Islam sendiri, melainkan lebih menitikberatkan pada upaya penggalian peran moral dan etika Islam dalam implementasi ekonomi Islam untuk kemudian membandingkannya dengan moral dan etika dalam ekonomi konvensional. Sehingga dari perbandingan ini dapat diperoleh prinsip-prinsip yang mendasari praktik ekonomi, khususnya ekonomi syariah.
B. Peran Moral dan Etika Dalam Ekonomi Konvensional
1. Landasan Moral dan Etika Dalam Ekonomi Konvensional
Sun Tzu dalam bukunya ’The Art of War’ pernah menuliskan bahwa kemenangan dapat diraih jika mampu mengukur kekuatan dan kelemahan dari musuh dan diri sendiri.[4] Maka, makalah ini terlebih dulu akan mengkaji peran moral dan etika yang menjiwai praktik ekonomi konvensional sebagai sistem ekonomi yang dominan saat ini.
Ingat Etika Kapitalisme, maka kita perlu merujuk pada Max Weber, sosiolog yang mempopulerkan etika kristen Protestan sebagai landasan spiritual ekonomi kapitalisme atau konvensional. Dalam bukunya yang berjudul ’The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism’, Weber berargumen bahwa ’esprit de corps’ dari ekonomi Kapitalisme adalah agama Kristen Protestan yang mempengaruhi perkembangan ekonomi kapitalisme.[5] Hal ini menjadi menarik, mengingat bahwa Weber memunculkan konsep tersebut sebagai counter terhadap pemikiran Marx dengan dialektika materialismenya sebagai landasan filsafat ekonomi manusia.[6] Dengan kata lain, pergulatan pemikiran seputar etika yang melandasi ekonomi konvensional sebetulnya berada pada dua ekstrim, yang satu religius dan yang satu lagi materialis, alih-alih menyebutnya ateis.
Walaupun begitu, jika kita merujuk lebih jauh. Asas ’laissez laire, laissez faire’ yang menjadi ciri khas semangat ekonomi konvensional ini sudah lebih dulu dipopulerkan oleh Adam Smith dalam karyanya yang berjudul ’The Theory of Moral Sentiment’.[7] Dari sini, mulai dapat dipahami bahwa makna kebebasan berusaha dalam ekonomi konvensional pun turut didukung oleh semangat agama, dalam hal ini agama Kristen. Tanpa mengabaikan kenyataan bahwa telah terjadi kontradiksi antara filsafat agama dengan filsafat humanisme terkait sekularisasi di berbagai bidang kehidupan, ekonomi konvensional pun tidak bisa melepaskan diri dari sekularisasi tersebut. Sehingga, perkembangan pemikiran ekonomi konvensional saat ini pun menggunakan etika kristen hanya dari sisi kebebasan berusahanya saja. Selebihnya, hanya mengandalkan rasionalitas dalam batas-batas dimensi materialisme yang berangkat dari filsafat humanisme, disamping filsafat materialisme. [8]

2. Peran Moral dan Etika Dalam Ekonomi Konvensional
Agak sulit untuk memutuskan landasan moral dan etika yang mana yang sesungguhnya dipakai di dalam ekonomi konvensional. Hal ini disebabkan bercampur aduknya pemikiran ekonomi dengan filsafat-filsafat yang melandasinya. Walaupun begitu, moral dan etika yang didapat dari beragam aliran filsafat dan pemikiran tersebut telah membentuk dan mengembangkan ekonomi konvensional hingga seperti sekarang ini. Peran moral yang paling utama sudah tentu adalah kebebasan berusaha, dengan ini setiap orang dimotivasi untuk giat bekerja agar kehidupannya meningkat.
Dengan setiap orang diminta untuk berusaha, muncul persoalan terkait sumber daya yang tersedia. Hal ini pula yang menjadi masalah ekonomi dalam ekonomi konvensional. Sehingga etikanya adalah memberikan sumber daya kepada orang-orang yang dapat menghasilkan nilai tambah dibanding harus memberi juga kepada orang-orang yang tidak dapat memberikan apa-apa. Selain itu, adalah etis untuk memberikan banyak sumber daya kepada mereka yang mampu mengelola sumber daya dengan input yang sedikit untuk menghasilkan output yang lebih besar. Hal inilah yang kemudian menjadi apa yang disebut prinsip ekonomi dalam ekonomi konvensional. Dari sini, persaingan bergeser dari kebebasan berusaha menjadi persaingan perolehan sumber daya. Dan etika-etika baru pun muncul, mulai dari negara sebagai penjamin mereka yang tidak beruntung dalam berusaha sebagaimana terjadi pada negara-negara kesejahteraan versi Keynes sampai kepada etika untuk tidak melakukan tindakan entry barrier dalam perdagangan bebas sebagaimana tertuang di dalam WTO dan masih banyak lagi etika lainnya.
Secara garis besar, moral dan etika baru dalam ekonomi konvensional terus bermunculan seiring perkembangan masalah dan sengketa yang terjadi di antara pihak-pihak yang melakukan kegiatan ekonomi. Sehingga, perubahan aturan perjanjian sudah merupakan hal yang biasa dan amat mungkin untuk memuat daftar panjang klausul atas berbagai masalah yang dipersengketakan.[9]
Dari sini, dapat disimpulkan beberapa hal yang menyangkut peran moral dan etika dalam ekonomi konvensional, yaitu:
a. Selama etika baru tetap menjunjung etika kebebasan sebagai etika utama, maka etika baru tersebut akan turut dijunjung oleh pelaku usaha.
b. Jika pemerintah mengintervensi dalam kerangka etis, maka dibatasi hanya pada isyu yang tidak berkenaan dengan kebebasan berusaha.
c. Seiring perkembangan zaman, teknologi dan permasalahannya, maka etika baru pun akan terus bermunculan karena sengketa-sengketa baru dalam usaha pun akan terus bermunculan.

Selain itu, kita pun juga dapat melihat kelemahan dari moral dan etika yang berlaku pada ekonomi konvensional, yaitu:
a. Sudut pandang moral dan etika yang dipakai di dalam ekonomi konvensional lebih mengedepankan kepentingan manusia itu sendiri, walaupun itu mungkin merugikan pihak lain. Sehingga, jika kepentingan berubah, maka sudut pandang etika pun berubah.
b. Landasan moral dan etika yang bercampur aduk antara etika agama Kristen dengan filsafat pemikiran manusia di dalam ekonomi konvensional menjadikannya rentan terhadap kontradiksi pemikiran sepanjang hidupnya.
c. Moral dan etika tidak 100% bisa menjadi preserving social system (sistem sosial yang mempertahankan) di dalam ekonomi konvensional. Karenanya, mereka membuat banyak sekali undang-undang, peraturan-peraturan untuk satu topik masalah, yang tentu amat rentan untuk saling bertentangan satu sama lain.

C. Peran Moral dan Etika Dalam Ekonomi Menurut Perspektif Islam
1. Landasan Moral dan Etika
Sebagai sebuah cabang ilmu yang relatif baru, Ekonomi Islam, dalam hal ini berupaya mendasarkan landasan moral dan etikanya pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Al-Qur’an dan Sunnah tersebut merupakan wasiat dari Nabi Saw sebelum wafatnya. Dengan begitu, wasiat yang diberikan oleh Nabi ini tidak saja bermanfaat bagi umat Islam hingga hari kiamat, tetapi juga dapat meminimalisir pertentangan pemikiran diantara umat Islam sendiri. Sehingga, para pemikir muslim pun dalam mencari rujukan atas berbagai permasalahan manusia diutamakan mencarinya dari Al-Qur’an dan Sunnah terlebih dulu.
Sebelum membahas moral dan etika, kita sudah pernah membahas konsep dasar dan metodologi ilmu ekonomi Islam sebagai topik pertama dalam kuliah teori Mikroekonomi Islam. Walaupun sudah lewat, tapi masih cukup relevan untuk membuat sebuat review kritis terhadap isi materinya. Dari review ini diharapkan dapat menghasilkan perspektif baru atau sudut pandang dalam mengkaji topik-topik lainnya, termasuk landasan moral dan etika ekonomi menurut Islam.
Poin pertama yang hendak dikritisi di sini adalah topik ’masalah ekonomi dalam perspektif Islam’. Dalam hal ini sebetulnya lebih tepat di sebut sebagai masalah dalam ekonomi menurut pemikir ekonomi Islam.. Namun, disini yang menjadi pertanyaan fundamentalnya adalah mengapa langsung kepada bahasan masalah ekonomi sebagai topik pertama? Apakah karena kita mengkaji ekonomi, maka yang diangkat pertama kali adalah apa yang menjadi masalah dalam ekonomi? Ataukah ini sekedar mencari afirmasi dan negasi dari isyu atau masalah ekonomi dalam pandangan ekonomi ’Jahiliyah kontemporer’ (kata ini kiranya lebih representatif dibanding harus menyebut ’Barat’, ’Kapitalisme’, ’klasik’, atau ’Neoliberal’). Sebagaimana yang sudah dilakukan oleh para pemikir ekonomi Islam yang direpresentasikan melalui 3 perspektif besar (Iqtishoduna, Mainstream, Alternatif) dalam menyikapi keseluruhan model ekonomi ’Jahiliyah kontemporer’.
Dalam pandangan ekonomi Jahiliyah Kontemporer, amat mungkin bahasan masalah ekonomi menjadi isyu sentral yang menjiwai seluruh gagasan dan praktik ekonominya sampai saat ini. Dan hal tersebut sudah mereka lakukan dan kembangkan melalui sistem pendidikan mereka yang menopang keberlangsungan teori dan praktiknya.
Akan tetapi, benarkah apa yang sekiranya menjadi masalah ekonomi menurut para pemikir ekonomi Islam itu adalah masalah dalam pandangan Islam itu sendiri? Tidak banyak orang yang berpikir sampai kesini untuk kemudian melakukan kaji-ulang secara mendalam terhadap sumber utamanya yang sama, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Karena ekonomi merupakan cabang dari muamalah sebagai format hubungan antar-manusia. Maka yang seharusnya menjadi topik paling awal di sini adalah masalah manusia. Dalam hal ini, ada baiknya kita menelusuri kembali asal-usul penciptaan manusia, diri kita, khususnya melalui kisah penciptaan nabi Adam di dalam Al-Qur’an. Kenapa Adam? Karena Adam mewakili seluruh manusia. Dia adalah esensi umat manusia, manusia dalam pengertian filosofis, bukan dalam pengertian biologis. Bila Al-Qur’an berbicara tentang manusia dalam pengertian biologis, maka yang dipergunakan adalah bahasa ilmu-ilmu alam seperti sperma, gumpalan darah, janin dan sebagainya. Tetapi begitu sampai pada kejadian Adam, maka yang dipergunakan adalah bahasa metaforis yang penuh makna dan simbolik.[10]
Begitu indahnya kisah tersebut sehingga diabadikan di dalam Al-Qur’an, tepatnya di dalam Q.S. Al-Baqoroh: 30-35 dan Q.S. Al-Ahzab: 72 sebagai pelajaran bagi orang-orang yang berfikir dan hendak mengambil pelajaran.



Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (30)
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (31)
Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (32)
Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (33)
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (34)
Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. (35).
Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan." (36)

Manusia sebelum penciptaannya, yang diwakili oleh Adam, tidak bisa diterima eksistensinya, baik oleh para malaikat yang semuanya taat maupun oleh iblis yang pembangkang. Namun Allah justrus membela eksistensinya dan eksistensi kita sebagai turunan Adam. Lalu, dimana letak permasalahannya? alasan yang menjadi sebabnya ada di bagian akhir dari ayat 35. yang kemudian memberi alasan untuk menjadi akibatnya sebagaimana tertera di ayat 36. Untuk memperjelas letak masalahnya, Allah telah menjawabnya di dalam Q.S. Al-Ahzab 72 sebagaimanadi bawah ini:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (72)

Dari Q.S. Al-Baqoroh 33-36 tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Adam diberi kehendak bebas untuk melakukan apa pun yang disukainya di syurga. Namun, Adam mengalami kesulitan ketika diberi hanya satu amanah oleh Allah ’jangan mendekati pohon khuldi’ sehingga Adam, karena kelalaiannya memelihara amanah, diturunkan ke bumi. Dan beratnya persoalan amanah ini pun kembali diulang dengan lebih jelas di dalam Q.S. Al-Ahzab: 72 sebagaimana telah dimuat di atas.
Dari sini, mari kita kembali meninjau dimensi muamalah. Dalam banyak kasus di masa lalu, Rasululllah SAW telah menjadi representasi sosok manusia yang memelihara amanah orang lain sehingga setiap orang pun merasa puas dengannya, dan hal ini pun juga direpresentasikan di dalam pelbagai sunnahnya.
Kita sudah mengkaji dimensi ontologis yang menjadi masalah mendasar atas banyak hal menurut Al-Qur’an dan sebagaimana telah direpresentasikan oleh pribadi Rasulullah SAW. Lalu, jika kita sekilas melihat ekonomi sebagai sub-epistemologi dari muamalah, maka kita dapat menyaksikan hingga sekarang ini betapa banyak hal menjadi rusak karena tidak terpeliharanya amanah.[11] Sehingga, apa yang mungkin dikira sebagai masalah ekonomi oleh para pemikir ekonomi tersebut lebih merupakan sesuatu yang sifatnya eksogen (diluar diri manusia) alih-alih menyebutnya terjebak dalam filsafat materialisme jahiliyah kontemporer karena berangkat dari upaya afirmasi dan negasi terhadap masalah ekonomi jahiliyah kontemporer meskipun juga menggunakan rujukan Al-Qur’an dan hadits. Semoga Allah mengampuni kita semua. Karena itu, akan lebih baik bagi kita untuk mulai meninjau dimensi endogen (di dalam diri manusia) dalam melihat masalah manusia, termasuk di dalamnya masalah ekonomi. Karena moral dan etika adalah suatu aspek yang secara endogen melekat pada diri manusia.
Ketika berbicara tentang sumberdaya pun, masalahnya bukan terletak pada kelangkaan ataupun ketakterbatasannya. Karena, sebagaimana Allah telah mengemukakan secara gamblang masalah ini di dalam Q.S. Asy-Syuuro:27
”Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.”

Ayat ini tidak berbicara soal kebutuhan, baik dalam kerangka want atau need, apalagi kelangkaan sumberdaya ataupun ketakterbatasannya, melainkan bicara perkara amanah. Secara simbolik, pengertian daripada melapangkan rezeki adalah pemberian amanah yang melebihi kemampuan manusia itu sendiri. Dan Allah tidak hendak membebani hamba-Nya melebihi kemampuan hamba-Nya sendiri, kecuali manusia itu sendiri yang memaksakan dirinya sehingga melampaui batas.[12] Juga, secara substansi, dimensi ukuran Allah menjadi suatu yang absolut diterima oleh manusia sebagai bentuk amanah berupa sumberdaya-sumberdaya yang untuk diterimanya dan untuk disebarkan kepada manusia lainnya, sebagaimana tertuang di dalam ayat-ayat lainnya.[13] Dan kelalaian dalam memeliharanya sesuai perintah Allah, sedikit ataupun banyak akan berujung pada musibah dan malapetaka.
Dengan menggunakan frame berpikir out of box, kita telah memilki perspektif baru dalam melihat masalah ekonomi menurut pandangan Al-Qur’an dan Sunnah. Yaitu: Semua sumberdaya telah dicukupkan Allah bagi manusia menurut ukuran-Nya, adapun segala hasil yang diterima untuk pemenuhan kebutuhannya kembali kepada manusia itu sendiri apakah bisa memelihara amanah atasnya atau tidak.
Memang, terkesan ada persinggungan pengertian dengan manajemen. Akan tetapi, memelihara amanah dalam terminologi Al-Qur’an dan Sunnah memiliki spektrum yang lebih meluas-mendalam dibanding manajemen yang dikenal selama ini, termasuk moral dan etika di dalamnya.
Dengan demikian, konsep tentang memelihara amanah tidak saja mencerminkan landasan moral dan etika dari ekonomi Islam, tetapi juga mencerminkan keseluruhan tuntutan Allah atas tiap-tiap diri manusia dalam berbagai bidang aktivitas kehidupan.

D. Landasan Prinsip Ekonomi Menurut Perspektif Islam
Setelah memahami landasan dan peran dari moral dan etika dalam terminologi Al-Qur’an dan Sunnah, terkait di dalamnya segala hal yang berhubungan dengan ekonomi. Perlu kiranya menyusun sebuah kerangka yang menjadi prinsip-prinsip dalam ekonomi Islam.
Afzalurrahman, di dalam bukunya ’Doktrin Ekonomi Islam’ menyebutkan bahwa prinsip-prinsip yang mendasari ekonomi Islam terletak 3 aspek yang saling terkait satu sama lain. Yaitu pada kesesuaian aplikasi antara penggunaan Al-Qur’an sebagai pedoman segala aturan, penerapan keadilan sebagai ukuran yang telah digariskan Allah di dalam Al-Qur’an dan peran penguasa atau orang yang memiliki kapasitas untuk menegakkan aturan-aturan yang ditetapkan Allah terhadap manusia. Afzalurrahman, dalam hal ini merujuk pada Q.S. Al-Hadid: 25
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa (25).
Dari ayat tersebut, tercermin tidak saja landasan etika untuk selalu mengacu pada Al-Qur’an dalam mengkaji persoalan dan menemukan jawaban atas permasalahan yang terkait dengan ekonomi pada khususnya, tetapi juga etika untuk menerapkan batasan atau ukuran keadilan yang telah ditetapkan Allah di dalam Al-Qur’an serta keharusan bagi orang yang memiliki kapasitas, baik berupa kekuasaan, kekayaan ataupun kepandaian untuk menjadikan umat manusia patuh pada aturan Allah yang menjadi amanahnya. Dengan kata lain, prinsip yang mendasari pelaksanaan ekonomi Islam, dalam hal ini sudah tercantum dengan jelas dari ayat di atas sehingga tidaklah perlu membuat-buat yang baru apalagi mengimitasi konsep asing yang sekedar ditambahi acuan dari Al-Qur’an sebagai pelengkap, karena dikhawatirkan menjadi bid’ah yang tersembunyi.
Prinsip-prinsip tersebut bila dikaitkan ke dalam aktivitas ekonomi akan menjamin terpeliharanya amanah yang tujuannya sudah tentu adalah kemaslahatan akan banyak hal yang dicerminkan dari terpenuhinya maqoshid syariah pada umat manusia.



Dari sini, dapat disimpulkan beberapa hal yang menyangkut moral dan etika dalam ekonomi menurut Al-Qur’an, yaitu:
a. Etika dalam ekonomi menurut Al-Qur’an adalah memelihara amanah.
b. Konsep amanah tidak sekedar mencerminkan pemeliharaan atas sumberdaya yang eksogen (tanah, uang dsb) tetapi juga sumber daya yang endogen, yaitu setiap diri kita sebagai manusia.
c. Seiring perkembangan zaman, teknologi dan permasalahannya, isyu memelihara amanah sebagai landasan moral dan etika sebagai daya tarik utama dalam aktivitas ekonomi akan tetap abadi hingga akhir zaman.

Selain itu, kita pun juga dapat melihat kelemahan dari moral dan etika yang diterapkan dalam aktivitas ekonomi umat Islam sekarang, yaitu:
a. Bias sudut pandang moral dan etika yang dipakai dalam praktik ekonomi Islam saat ini masih mengedepankan pada pemuasan, bukan pada menjalankan amanah Allah. Sehingga, jika pemuasan tidak terpenuhi (seperti tambah profit, sedikit biaya dan kerugian), maka prilaku pelaku ekonomi syariah masih dapat berubah-ubah, yang akhirnya malah dapat merugikan dirinya.[14]
b. Memelihara amanah adalah aktivitas yang paling berat bagi manusia, sekecil apa pun. Dan karenanya banyak umat Islam sendiri merasa tidak tahu dan tidak mau tahu bahwa apa yang mereka dapatkan adalah amanah dari Allah.
c. Isyu memelihara amanah belum menjadi bagian yang endogen dalam studi ekonomi Islam, karena sibuk mengkaji hal-hal yang sifatnya eksogen. Sehingga, memelihara amanah sebagai moral dan etika belum 100% bisa menjadi preserving social system (sistem sosial yang mempertahankan) di dalam ekonomi syariah. Karenanya, keluhan terbesar terhadap ekonomi Islam saat ini adalah persoalan pelaku pemegang otoritas yang notabene beragama Islam tetapi tidak bisa memelihara amanahnya sebagai orang yang memegang peran kekuasaan..
Kesimpulan

Setelah mengkaji keseluruhan persoalan yang menyangkut moral dan etika, baik di dalam ekonomi konvensional maupun ekonomi Islam. Ditemukan beberapa poin penting yang dapat menjadi kesimpulan pembahasan dari makalah ini. Yaitu:
a. Sistem Ekonomi Konvensional sebetulnya memiliki landasan etika dan moral yang bercampur aduk antara etika kristen dengan filsafat moral. Sehingga, berbagai pertentangan dan kebingungan yang muncul di dalamnya beserta intensitas benturannya suatu saat dapat menghancurkan sistem mereka sendiri.
b. Sistem Ekonomi Islam sebagai alternatif masih terkendala persoalan menangkap isyu inti permasalahan dalam ekonomi menurut Al-Qur’an. Karena pemikiran ekonominya hanya melulu melihat pada aspek yang sifatnya eksogen ketimbang endogen.
c. Memelihara amanah merupakan kunci dari moral dan etika dalam ekonomi syariah.
d. Prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam, implementasinya mengacu pada Q.S. Al-Hadid: 25. Dimana landasan hukum utamanya adalah Al-Qur’an, penerapannya memakai pertimbangan keadilan sebagai ukuran dan bukan yang paling dapat melakukan efisiensi seperti pada konvensional, serta peran pemegang otoritas untuk menjaga terpeliharanya aturan Allah di muka bumi dan bukan untuk memelihara kekuasaan mereka sendiri.

Referensi


Afzalurrahman, ’Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I’. Dana Bhakti Wakaf,
Jakarta:1995
’Ali Syari’ati, ’Paradigma Kaum Tertindas’ Islamic Center Jakarta-Al-Huda.
Jakarta: 2001.
Choudhury,M.A ‘Introducing Islamic Political Economy’ dalam
http://www..capebretown.org/chou. akses tanggal 3 Maret 2006.
Al-Qur’an Digital V 2.0. dalam http://www.alquran-digital.com
Fukuyama, Francis ‘Trust’, Encarta Encyclopedia: 2006
Marx, Kart ‘Das Kapital’, Encartas Enciclopedia: 2006
Weber, Max ’The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism’, Encarta
Encyclopedia: 2006
Smith, Adam ‘ The Theory of Moral Sentiment’, Encarta Encyclopedia: 2006
Sun Tzu: The Art of War’, Encarta Encyclopedia: 2006

[1] Boleh dibilang, semangat re-islamisasi di berbagai bidang mulai dirasakan gaungnya setelah fenomena oil boom di tahun 1971. Yang memberikan kesempatan pada negara-negara pemilik sumberdaya minyak yang sebagian besar adalah negara-negara Islam di Timur-Tengah untuk mengakumulasi permodalan dari aktivitas ekspor minyaknya. Hal ini yang kemudian turut mendorong munculnya berbagai forum-forum internasional para ilmuwan muslim dari berbagai bidang keilmuan untuk mengkaji potensi kembalinya peradaban Islam dalam berbagai dimensi, termasuk ekonomi.
[2] Pandangan ini berangkat dari interpretasi ayat-ayat Qur’an maupun hadits yang menyangkut masalah sikap orang-orang yang pura-pura beriman untuk menusuk umat Islam dari belakang seperti pada Q.S. Al-Imran 72, Al-Maaidah 41 serta persoalan syubhat sebagaimana diperoleh dari hadits ar’bain ke-6.
[3] Lihat F. Fukuyama dalam ‘Trust’
[4] Lihat Sun Tzu, dalam ‘The Art of War’ hal. 61
[5] Lihat Max Weber, dalam Encarta Encyclopedia.
[6] Lihat Karl Marx, dalam Encarta Encyclopedia.
[7] Sebetulnya, selain Adam Smith juga ada David Hume yang menjadi pelopor filsafat humanisme abad ke-18 yang memperkenalkan konsep ini dalam bidang yang berbeda dengan Adam Smith.
[8] Salah satu bentuk filsafat humanisme adalah filsafat utilitarian yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham. Tidak mengherankan jika konsep kepuasan atau utilitas dalam ekonomi konvensional lebih mengedepankan hasrat dalam pandangan manusia, bukan dalam pandangan agama Kristen mereka.

[9] Salah satu bentuk perkembangan etika dalam ekonomi konvensional adalah kasus-kasu baru yang menangkut cyber crime, misalnya UU anti-hacking, UU anti-spam dan sebagainya.
[10] Lihat ‘Ali Syari’ati dalam Paradigma Kaum Tertindas, hal 63
[11] Fukuyama menggunakan istilah trust yang lebih umum. Lihat F. Fukuyama dalam ‘Trust”.
[12] Setiap bagian anggota tubuh kita sendiri adalah amanah,sebagaimana tertuang di dalam hadits nabi Saw. dan mempergunakannya untuk sesuatu hal yang tidak bermanfaat apalagi maksiat, tentu sudah termasuk melampaui batas.
[13] Apa yang kita kira kita butuhkan, belum tentu itu yang diberi Allah, tetapi Allah memberi sesuai dengan kehendak-Nya, karena Allah lebih tahu atas diri kita. Sehingga, sedikit atau pun banyaknya rezeki yang kita dapat guna memenuhi kebutuhan, semua itu adalah amanah Allah dalam mempergunakannya.
[14] Hal ini bisa dikaji dari Q.S.Al-A’raaf:95, Al-An’aam 65, An-Najm: 29 dan masih banyak lagi.

No comments: