Saturday, June 23, 2007

PRINSIP-PRINSIP EKONOMI ISLAM

Yuria Pratiwhi C, Reza Hakim, RR. Grace Nurhandayani

PENDAHULUAN

Sejak adanya kehidupan manusia di permukaan bumi, hajat untuk hidup secara kooperatif di antara manusia telah dirasakan dan telah diakui sebagai faktor esensial agar dapat bertahan dalam kehidupan. Seluruh anggota manusia bergantung kepada yang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Ketergantungan mutualistik dalam kehidupan individu dan sosial di antara manusia telah melahirkan sebuah proses evolusi bertahap dalam pembentukan sistem pertukaran barang dan pelayanan. Dengan semakin berkembangnya peradaban manusia dari zaman ke zaman, sistem pertukaran ini berevolusi dari aktivitas yang sederhana kepada aktivitas ekonomi yang modern.
Ilmu ekonomi konvesional, yang mendominasi pemikiran ekonomi modern, telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang sangat maju dan canggih, melalui suatu proses pengembangan panjang selama lebih dari satu abad. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu ekonomi konvensional memberikan kontribusi yang teramat besar bagi kemajuan kehidupan manusia secara materil, terutama sesudah Perang Dunia II. Pada masa ini, revolusi ekonomi mampu memberikan kesejahteraan kepada manusia, berasamaan dengan meningkatnya produksi, membaiknya sarana komunikasi dan bertambahnya kemampuan eksploitasi sumber daya alam. Standar hidup di antara kelas pekerja menjadi lebih tinggi daripada bila mereka hanya bergantung pada pertanian.
Namun pada perkembangannya ekonomi konvensional terbukti gagal mempertahankan idealismenya. Kondisi-kondisi ideal yang dijadikan asumsi dalam teori ekonomi konvensional tidak pernah tercapai. Bahkan dalam setengah abad terakhir ekonomi konvensional semakin menampakkan kelemahannya. Timbulnya kapitalisme memperbesar kesenjangan antar orang kaya dan orang miskin, antara pekerja dan pemilik modal, antara negara maju dan negara berkembang serta menyebabkan tingginya inflasi dan bertambahnya jumlah pengangguran.Hal tersebut dibuktikan pula dengan hasil penelitian lembaga the New Economics Foundation (NEF) Inggris tentang hubungan antara pertumbuhan pendapatan per kapita dengan proporsi atau share dari pertumbuhan tersebut yang dinikmati oleh kaum miskin. Mereka menemukan bahwa pada dekade 1980-an, dari setiap kenaikan 100 dolar AS pendapatan per kapita dunia, maka kaum miskin hanya menikmati 2,2 dolar AS, atau sekitar 2,2 persen. Artinya 97,8 persen lainnya dinikmati oleh orang-orang kaya. Kemudian pada kurun waktu tahun 1990 hingga 2001, kesenjangan tersebut semakin menjadi-jadi. Setiap kenaikan pendapatan per kapita sebesar 100 dolar AS, maka persentase yang dinikmati oleh orang-orang miskin hanya 60 sen saja, atau sekitar 0,6 persen. Sedangkan sisanya, yaitu 99,4 persen, dinikmati oleh kelompok kaya dunia. Hal tersebut menunjukkan adanya penurunan share kelompok miskin sebesar 73 persen. Fakta tersebut menunjukkan bahwa perekonomian dunia saat ini cenderung bergerak kepada ketidakseimbangan penguasaan aset dan sumber daya ekonomi, yang menjadikan kelompok kaya menjadi semakin kaya, dan kelompok miskin semakin miskin.
Dalam kondisi ini, selama tiga atau empat dekade terakhir mulai dikembangkan sistem perekonomian Islam sebagai solusi kondisi perekonomian internasional.
Al Quran sebagai Kitab Suci Umat Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah yang bersifat ritual, tetapi juga memberikan petunjuk yang sempurna (komprehensif) dan abadi (universal) bagi seluruh umat manusia. Al Quran mengandung prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk yang fundamental untuk setiap permasalahan manusia, termasuk masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas ekonomi. Prinsip-prinsip ekonomi yang ada dalam berbagai ayat di Al Qur’an dilengkapi dengan sunah-sunah dari Rasulullah melalui berbagai bentuk Al Hadits dan diterangkan lebih rinci oleh para fuqaha pada saat kejayaan Dinul Islamiyah baik dalam bentuk Al Ijma maupun Al Qiyas.
Pada masa Rasulullah, Islam memberikan ruang yang sangat luas bagi berkembangnya perekonomian. Salah satu prinsip dasar dalam muamalah ‘segala sesuatu hukumnya mubah, kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya’ menjadi pendorong utama inovasi ekonomi yang mempercepat pertumbuhan ekonomi Islam.
Pada masa Khilafah Rasyidah, ilmu ekonomi semakin berkembang. Pada masa ini masyarakat mencapai taraf kesejahteraan yang tinggi, yang semakin bertambah pada masa ‘Umar bin Abdul ‘Aziz.
Ekonomi Islam mencapai puncak kejayaannya seiring dengan kejayaan Islam secara keseluruhan pada masa khalifah Harun al Rasyid. Masa kekhalifahan Harun al Rasyid berlangsung hampir seperempat abad (170-193H/786-809 M), ketika Baghdad tumbuh dari sebuah kekosongan menjadi pusat dunia kekayaan dan pendidikan. Pada masa ini, aktivitas-aktivitas komersial berkembang sampai ke Cina. Ketersediaan bantuan keuangan yang melimpah bagi para mahasiswa dan sarjana menjadikan dunia muslim sebagai suatu tempat pertemuan bagi para sarjana dari segala bidang pengajaran dan berbagai aliran dan agama. Keadilan dalam sistem perpajakan pertanian menghasilkan tingginya produksi pertanian dan meningkatnya kesejahteraan petani.
Namun berbagai permasalahan internal dan eksternal umat Islam, termasuk kerusakan moral dan peristiwa perang salib, telah melemahkan ekonomi Islam dan menghentikan perkembangan ilmu ekonomi Islam selama satu setengah abad.
Berdasarkan sejarah yang menunjukkan efektifitas sistem perekonomian Islam bila dilaksanakan sesuai tuntunan Allah dan Rasulnya, sistem ekonomi Islam kembali dilirik sebagai solusi berbagai permasalahan sosial ekonomi internasional.
Pada makalah ini, penulis mencoba membahas berbagai perbedaan di antara ilmu ekonomi konvensional dan ilmu ekonomi Islam ditinjau dari sisi moral dan etika, serta merumuskan prinsip prinsip ekonomi Islam yang menjadi dasar Ilmu ekonomi Islam.

PERBEDAAN EKONOMI ISLAM DAN EKONOMI KONVENSIONAL DITINJAU DARI MORAL DAN ETIKA

1. DEFINISI
Ilmu ekonomi konvensional berangkat dari pernyataan ‘tidak terbatasnya keinginan manusia, sementara alat pemuas segala keinginan tersebut terbatas’. Dengan demikian ilmu ekonomi konvensional didefinisikan sebagai “suatu ilmu yang mempelajari cara pengelolaan sumberdaya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas”.
Definisi ini pada akhirnya menjadikan kepentingan individu sebagai sasaran utama perekonomian, sehingga masyarkat dipandang hanya sebagai suatu kumpulan individu yang disatukan oleh kepentingan diri. Pendekatan ini memuluskan jalan bagi diperkenalkannya falsafah Darwinisme sosial, yang merupakan perluasan prinsip ‘si kuat adalah pemenang’ dan seleksi alam dari teori Darwin dapat diterapkan pada manusia. Hal ini memberikan justifikasi terselubung bagi penerimaan konsep ‘kekuatan adalah yang benar’, sehingga orang miskin dianggap bertanggung jawab terhadap kemiskinan mereka sendiri dan orang kaya dapat membebaskan diri mereka dari rasa tanggung jawab terhadap penghapusan ketidakadilan sistem ini.
Ilmu ekonomi Islam berangkat dari firman Allah yang menyatakan bahwa sumber daya alam ini diciptakan seluruhnya untuk kepentingan manusia. Namun manusia memiliki keterbatasan dalam mengelola sumber-sumber daya tersebut. Disisi lain keinginan manusia dalam Islam dibingkai oleh konsep halal haram yang membatasi meluapnya hawa nafsu manusia.
Umar Chapra mendefinisikan ilmu ekonomi Islam sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan maqashid, tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral masyarakat.
M. Hasanuzzaman mendefinisikan ilmu ekonomi Islam sebagai pengetahuan dan aplikasi dari anjuran dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber-sumber daya materiil sehingga tercipta kepuasan manusia dan memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat

2. TUJUAN
Ilmu ekonomi konvensional telah mencanangkan dua tujuan. Tujuan yang pertama bersifat positif dan berhubungan dengan realisasi ‘efisiensi’ dan ‘pemerataan’ dalam alokasi dan distribusi sumber-sumber daya.Tujuan yang lain dapat dianggap sebagai normatif dan diungkapkan dalam bentuk tujuan tujuan sosioekonomi yang secara universal diinginkan, seperti pemenuhan kebutuhan, keadaan kesempatan kerja penuh, laju pertumbuhan ekonomi yang optimal, distribusi pendapatan yang adil(merata), stabilitas ekonomi dan keseimbangan lingkungan hidup.
Sepintas lalu kedua tujuan ini sangat ideal, karena dmaksudkan untuk melayani kebutuhan individu dan masyarakat. Namun dalam prakteknya, kedua tujuan ini menjadi tidak konsisten. Bahkan negara-negara yang kaya tenyata tidak mampu memenuhi tujuan normatifnya, sekalipun mereka memiliki sumber-sumber daya yang besar. Jika sebagian tujuan ini terwujud, hal ini hanya dapat dilakukan dengan merugikan tujuan yang lain. Misalnya, tujuan efisiensi dengan penggunaan mesin industri diperoleh dengan merugikan tujuan perluasan kesempatan kerja, atau sebaliknya. Bukti-bukti menunjukkan bahwa kegagalan ini makin hari makin kentara di seluruh belahan dunia.
Ilmu ekonomi Islam, selain berkonsentrasi pada alokasi dan distribusi sumber-sumber daya -seperti pada ekonomi konvensional-, namun tujuan utamanya adalah merealisasikan maqashid syari’ah.
Menurut Imam al Ghazali (505 H/1111 M) ‘tujuan utama syari’ah (maqashid syari’ah) adalah mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak pada perlindungan terhadap agama mereka (dien), diri (nafs), akal, keturunan (nasl), dan harta benda (maal).
Sistem Ekonomi Syariah mempunyai beberapa tujuan, yakni:1.Kesejahteraan Ekonomi dalam kerangka norma moral Islam (dasar pemikiran QS. Al-Baqarah ayat 2 & 168, Al-Maidah ayat 87-88, Al-Jumu’ah ayat 10);
2.Membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid, berdasarkan keadilan dan persaudaraan yang universal (Qs. Al-Hujuraat ayat 13, Al-Maidah ayat 8, Asy-Syu’araa ayat 183)
3.Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata (QS. Al-An’am ayat 165, An-Nahl ayat 71, Az-Zukhruf ayat 32);
4.Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial (QS. Ar-Ra’du ayat 36, Luqman ayat 22).
Tampak jelas bahwa ekonomi konvensional tidak memberi tempat pada keimanan (diin), sementara kehidupan, akal dan keturunan, sekalipun dianggap penting, hanya dianggap sebagai variabel eksogenous sehingga tidak mendapat perhatian yang memadai.
Dalam ekonomi Islam, keimanan ditempatkan pada urutan pertama karena keimanan berpengaruh signifikan terhadap hakikat, kuantitas dan kualitas kebutuhan materi dan psikologi dan juga cara memuaskannya. Harta benda ditempatkan pada tujuan terakhir bukan karena dianggap tidak penting, melainkan bahwa kemampuan harta dalam mewujudkan kebahagiaan manusia akan sangat bergantung dari manusia itu sendiri. Dengan kata lain, harta saja sebagai benda tidak dengan sendirinya mampu memberikan kebahagiaan kepada manusia.
Diri, akal dan keturunan berkaitan erat dengan manusia itu sendiri, sehingga kebahagiannya menjadi tujuan utama syari’at. Dengan memasukkan diri manusia, akal dan keturunannya akan memungkinkan terciptanya suatu pemenuhan yang seimbang terhadap semua kebutuhan hidup manusia, sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh ilmu ekonomi konvensional yang memberikan kesakralan yang berlebih-lebihan pada pasar dan hasil-hasilnya.

3. MANUSIA EKONOMI RASIONAL
Ilmu ekonomi konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa perilaku individu adalah rasional, sehingga setiap individu dianggap cukup cerdas unutuk mamasukkan faktor-faktor pencapaian tujuan normatif masyarakat, yang meliputi faktor-faktor ekonomi dan non ekonomi .
Sayangnya, ilmu ekonomi konvensional tidak memberikan tempat yang memadai bagi rasionalitas model ini. Memasukkan kesejahteraan orang lain dalam faktor ekonomi berimplikasi pada semakin terbatasnya perilaku individu.Kondisi ini menjadi tidak relevan dengan paradigma ekonomi sekuler dan harus dikesampingkan. Edgeworth bahkan dengan tegas menyatakan bahwa ‘prinsip pertama ilmu ekonomi adalah setiap pelaku digerakkan hanya oleh kepentingannya sendiri’.Ilmu ekonomi telah menciptakan konsep imajiner tentang ‘manusia ekonomi’, dimana ‘tanggung jawab sosial satu-satunya adalah menciptakan keuntungannya’[Friedman(1972)].
Islam memberikan karakteristik perilaku rasional yang sangat tegas sehingga memungkinkan penggunaan sumber-sumber daya yang diberikan Allah dalam suatu cara yang menjamin kesejahteraan individu di dunia maupun di akhirat. Kekayaan dapat diperoleh dengan segala cara yang benar tanpa menimpakan kezhaliman kepada orang lain. Kekayaan itupun dapat dibelanjakan dan diinvestasikan secara produktif untuk memenuhi kebutuhan seseorang dan masyarakat secara seimbang. Dalam hal ini Islam memberikan konsep kebutuhan secara bertingkat, mulai dari kebutuhan yang harus dipenuhi meliputi dharuriyat (kebutuhan pokok), hajiyat (kebutuhan untuk mengurangi kesulitan), dan tahsiniyat (kebutuhan akan hal-hal yang akan mempermudah penunaian kewajiban), sampai pada kebutuhan yang dilarang untuk dipenuhi, meliputi taraf (bergelimangan dalam kesenangan), israf (berlebih-lebihan), tafakhur (berbangga-bangga), dan takatsur (berlomba dengan banyak harta).

4. OPTIMUM PARETO VS OPTIMUM ISLAM
Jean Baptiste Say (1767-1832) menyatakan bahwa sama halnya dengan jagat raya, ekonomi akan berjalan dengan baik jika ia dibiarkan sendiri. Pernyataan ini selanjutnya dikenal sebagai hukum Say.
Adam Smith, yang kemudian dikenal sebagai Bapak Ekonomi, mengklaim bahwa terdapat simetri antara kepentingan publik dan swasta.’jika setiap orang dibiarkan melampiaskan kepentingannya sendiri, ‘tangan gaib’ dari kekuatan-kekuatan pasar, lewat batasan-batasan yang dipaksakan oleh kompetisi akan mendorong kepentingan seluruh masyarakat sehingga menciptakan suatu keharmonisan antara kepentingan privat dan umum.(Smith [1723-1790(1937)]
Lebih lanjut teori ekuilibrium menyatakan bahwa interaksi bebas antara konsumen yang memaksimalkan nilai guna dan produsen yang memaksimalkan laba dalam kondisi pasar yang bersaing sempurna akan menentukan ekuilibrium harga bagi barang dan jasa.Harga-harga ini bersifat netral dan mengarah pada transfer sumber daya dari satu [engguna kepada pengguna lain. Dengan demikian, tanpa upaya dan campur tangan pihak lain, terdapat produksi dari konfigurasi barang dan jasa yang sesuai dengan preferensi konsumen. Konfigurasi ini disebut ‘Optimalitas Pareto’.Ia adalah keadaan yang paling ‘efisien’ karena tidak mungkin lagi meningkatkan efisiensi tanpa menyebabkan orang lain menjadi lebih jelek kondisinya.
Dalam konsep optimum Pareto, satu-satunya kebijakan yang dapat diterima adalah yang dapat membuat paling tidak satu orang menjadi lebih baik tanpa membuat yang lain lebih jelek. John Rawls menyatakan ‘tiap-tiap orang tidak boleh bertindak sendiri untuk meningkatkan kebahagiaan umum jika dalam berbuat demikian malah membuat orang lain menjadi lebih jelek’(Rawls 1958).
Pada akhirnya, konsep Optimum Pareto tidak mengakui solusi apapun yang menuntut pengorbanan dari pihak sekelompok kecil (orang kaya) untuk meningkatkan kesejahteraan jumlah yang lebih banyak (orang miskin).
Ekonomi Islam tidak memberi ruang bagi konsep Optimum Pareto. Berangkat dari konsep keadilan dalam ekonomi, para fuqaha telah meletakkan sejumlah qaidah ushul yang dapat membantu merealisasikan kesejahteraan untuk semua dalam satu cara yang seimbang dan adil. Di antara kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:
Suatu kerugian atau pengorbanan privat dapat ditimpakan untuk menyelamatkan kerugian atau pengorbanan publik, dan suatu maslahat yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk merealisasikan maslahat yang lebih besar (pasal 26)
Suatu kerugian yang lebih besar dapat digantikan oleh kerugian yang lebih kecil (pasal 27)
Kemaslahatan masyarakat yang lebih besar harus didahulukan daripada kemaslahatan minoritas yang lebih sempit; kemaslahatan publik harus didahulukan daripada kemaslahatan privat (pasal 28)
Penghapusan kesulitan dan bahaya harus didahulukan daripada mendapatkan kemaslahatan. (pasal 30)
Bahaya harus dihilangkan sejauh mungkin (pasal 31)
Rasulullah mengajarkan manusia untuk berdo’a, memohon perlindungan kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat. Mengacu pada do’a ini, tes untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu ilmu dapat dilihat dari sejauh mana kontribusi langsung dan tidak langsung yang diberikan ilmu tersebut bagi kesejahteraan manusia sesuai maqashid syari’ah.Ilmu ekonomi pun demikian.
Di dalam Islam, hanya ekuilibrium pasar yang harmoni, minimal tidak mengandung konflik dengan maqashid yang dapat dipandang sebagai optimum dan dapat diterima. Maka konsep optimum Islam berarti ekuilibrium pasar yang merefleksikan realisasi serentak tingkat optimalitas aspek efisiensi dan pemerataan yang selaras dengan maqashid.
Efisiensi optimum akan dicapai jika perekonomian telah mampu menggunakan seluruh potensi sumber daya materil dan manusia dalam suatu cara sehingga barang dan jasa dapat diproduksi dengan jumlah yang maksimal dengan tingkat stabilitas ekonomi yang masuk akal dan dengan laju pertumbuhan masa depan yang berkesinambungan.
Pemerataan Optimum dicapai bila barang dan jasa yang diproduksi dapat didistribusikan dalam suatu cara sehingga kebutuhan setiap individu dapat dipenuhi secara memadai. Juga terdapat distribusi kekayaan dan pendapat yang adil tanpa berdampak buruk pada motivasi kerja, menabung, investasi dan melakukan usaha.
Pada awalnya ekonomi konvensional tidak mengakui bahwa pemerataan dan efisiensi dapat berjalan berbarengan. Mereka berpendapat bahwa usaha untuk merealisasikan tingkat pemerataan optimal selalu mengorbankan efisiensi. Pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an, wacana pemikiran dari para ekonom konvensional bukan saja mengabaikan aspek pemerataan, melainkan juga menekankan bahwa ‘redistribusi pendapatan yang memihak kepada kaum miskin tidak dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dalam arti output perkepala yang lebih besar’. Pandangan yang berlaku pada saat itu adalah jika pertumbuhan dapat dipercepat, mekanisme menetes ke bawah (trickle down mechanism) akan memecahkan persoalan kemiskinan dan distribusi pendapatan.
Namun Islam meyakini bahwa efisiensi dan pemerataan dapat berjalan selaras sesuai maqashid, tanpa mengorbankan salah satu aspek. Para sarjana muslim di sepanjang sejarah telah menekankan bahwa keadilan justru akan mendorong efisiensi dan pertumbuhan yang lebih besar, tidak saja dengan mempromosikan kedamaian dan solidaritas sosial, melainkan juga mendorong insentif bagi usaha dan inovasi yang lebih besar.
Barulah pada dasawarsa 1980-an, ekonomi pembangunan konvensional mengakui kenyataan ini. Pengalaman Jepang, Taiwan dan Korea Utara menunjukkan bahwa pertumbuhan dapat dicapai lebih cepat bila pemerataan ditekankan secara serentak. Pada edisi pertama buku Leading Issues in Development Economics (1964) buah tangan Gerald Meier, persoalan-persoalan kemiskinan, kesenjangan dan distribusi pendapatan nyaris tidak terlihat.Namun pada edisi keempatnya, terdapat penekanan substansial yang ditempatkan pada aspek distribusi pendapatan. Bahkan dalam salah satu bukunya yang juga terbit pada tahun 1984, dia mengatakan bahwa ‘keluar dari kemiskinan’ adalah ‘ilmu ekonomi yang benar-benar bermanfaat’.

PRINSIP-PRINSIP DALAM EKONOMI ISLAM

Islam sebagai agama Allah, mengatur kehidupan manusia baik kehidupan di dunia maupun akhirat. Perekonomian adalah bagian dari kehidupan manusia, maka tentulah hal ini ada dalam sumber yang mutlak yaitu Al-Qur’an dan As Sunnah, yang menjadi panduan dalam menjalani kehidupan. Kedudukan sumber yang mutlak ini menjadikan Islam sebagai suatu agama yang istimewa dibandingkan dengan agama lain sehingga dalam membahas perspektif ekonomi Islam segalanya bermuara pada Akidah Islam berdasarkan Al-Qur’an al Karim dan As Sunnah Nabawiyah.

Adapun yang dimaksud dengan Ekonomi Islam itu sendiri adalah sistem yang mengaplikasikan prinsip ekonomi yang sesuai dengan ajaran Islam, bagi setiap kegiatan ekonomi yang bertujuan menciptakan barang & jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Jika dilihat dari tujuannya, sekilas tidak ada perbedaan antara ekonomi Islam dan sistem Ekonomi lainnya, yaitu untuk mencari pemenuhan berbagai keperluan hidup manusia, baik bersifat pribadi atau kolektif. Demikian juga dengan prinsip dan motifnya, dimana setiap orang atau masyarakat berusaha mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dengan tenaga atau ongkos yang sekecil-kecilnya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Namun sesungguhnya Ekonomi Islam secara mendasar berbeda dari sistem Ekonomi yang lain dalam hal Tujuan, Bentuk dan Coraknya. Sistem tersebut berusaha memecahkan masalah Ekonomi manusia dengan cara menempuh jalan tengah antara pola yang ekstrim yaitu kapitalis & komunis.

Singkatnya Ekonomi Islam adalah sistem Ekonomi yang berdasar pada Al-Qur’an & Hadist yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia dan akhirat (Al-Falah). Ada tiga asas Filsafat Ekonomi Islam yaitu :

Semua yang ada di dalam alam semesta ini adalah milik Allah SWT, manusia hanyalah khalifah yang memegang amanah dari Allah untuk mempergunakan milik Nya. Sehingga segala sesuatunya harus tunduk pada Allah sang pencipta & pemilik.

(An –Najm :31)
Dan hanya kepunyaan Allahlah apa yang ada dilangit dan dibumi supaya dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada mereka yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).

Untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah, manusia wajib tolong menolong dan saling membantu dalam melaksanakan kegiatan ekonomi yang bertujuan untuk beribadah kepada Allah.

Beriman kepada hari kiamat, yang merupakan asas penting dalam suatu sistem Ekonomi Islam karena dengan keyakinan ini tingkah laku Ekonomi manusia akan dapat terkendali sebab ia sadar bahwa semua perbuatannya akan dimintai pertanggung jawaban kelak oleh Allah SWT

Selain dari asas filsafat tersebut diatas, Ekonomi Islam juga memiliki nilai-nilai tertentu yaitu :
Nilai dasar kepemilikan
Menurut sistem Ekonomi Islam :
Kepemilikan bukanlah penguasaan mutlak atas sumber-sumber ekonomi, tetapi setiap orang atau badan dituntut kemampuannya untuk memanfaatkan sumber-sumber ekonomi tersebut.
Lama kepemilikan manusia atas sesuatu benda terbatas pada lamanya manusia tersebut hidup di dunia.
Sumber daya yang menyangkut kepentingan umum atau yang menjadi hajat hidup orang banyak harus menjadi milik umum. Hal ini berdasarkan Hadist Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Ahmad & Abu daud yang mengatakan : “Semua orang berserikat mengenai tiga hal yaitu air (termasuk garam), rumput dan api” Sumber alam ini dapat dikiaskan (sekarang) dengan minyak dan gas bumi, barang tambang dan kebutuhan pokok manusia lainnya.

Keseimbangan
Keseimbangan yang terwujud dalam kesederhanaan, hemat dan menjauhi sikap pemborosan. Seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an :

(Al Furqon: 67)
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan hartanya, tidak boros dan tidak pula kikir, dan adalah pertengahan diantara demikian.

(Ar-Rahman: 9)
Dan tegakkanlah timbangan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.

Keadilan
Keadilan di dalam Al Qur’an, kata adil disebutkan lebih dari seribu kali, setelah perkataan Allah dan Ilmu pengetahuan. Nilai keadilan sangat penting dalam ajaran Islam, terutama dalam kehidupan hukum Sosial, Politik dan Ekonomi. Untuk itu keadilan harus di terapkan dalam kehidupan Ekonomi seperti : proses distribusi, produksi, konsumsi dan lain sebagainya. Keadilan juga harus diwujudkan dalam mengalokasikan sejumlah hasil kegiatan ekonomi tertentu bagi orang yang tidak mampu memasuki pasar, melalui zakat, infaq dan hibah.

Selain dari ketiga nilai tersebut diatas, Islam memiliki nilai instrumental yang mempengaruhi tingkah laku ekonomi seorang muslim dan masyarakat pada umumnya. Adapun nilai instrumental tersebut adalah Zakat, Larangan Riba, Kerjasama Ekonomi dan Jaminan Sosial.

Jika nilai instrumental ini dilaksanakan maka akan terwujud system ekonomi yang seimbang, menguntungkan dan mensejahterakan semua pihak.



DAFTAR PUSTAKA
Chapra, Umer.2000. “The Future of Economics : An Islamic Perspektive”, The Islamic Foundation, UK.
Quthub, Muhammad.2001.”Islam Agama Pembebas”,Mitra Pustaka,Yogyakarta
Hafidhudin, Didin,”Dari Alternatif Menjadi Suatu Keharusan”,Republika, Minggu 03 September 2006
Merzagamal,”Islam dan Ilmu Ekonomi”, PenulisLepas.com,07 September 2006
Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Mustafa Edwin Nasution, M.Sc., MAEP, Ph.D, et al edisi I tahun 2006Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid I, Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah – Cet 2 ed.

No comments: