Saturday, June 23, 2007

Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam

Indra Pramono dan Ita Sitasari

LATAR BELAKANG DAN TUJUAN

Sebagai muslim kita yakin bahwa melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah, telah diatur garis besar aturan untuk menjalankan kehidupan ekonomi, dan untuk mewujudkan kehidupan ekonomi, sesungguhnya Allah telah menyediakan sumber daya Nya dan mempersilahkan manusia untuk memanfaatkannya, sebagaimana firman-Nya dalam:

QS. Al Bagaroh (2) ayat 29:

“ Dia lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menciptakan langit, lalu dijadikan Nya tujuh langit, dan dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

Namun, pada kenyataannya, kita dihadapkan pada system ekonomi konvensional yang jauh lebih kuat perkembangannya daripada system ekonomi islam. Kita lebih paham dan terbiasa dengan tata cara ekonomi konvensional dengan segala kebaikan dan keburukannya..

Sebagai muslim, kita dituntut untuk menerapkan keislamannya dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dari aspek ekonomi. Maka mempelajari sistem ekonomi Islam secara mendalam adalah suatu keharusan, dan untuk selanjutnya disosialisasikan dan diterapkan.

Makalah ini disusun dari berbagai sumber dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran tentang ekonomi Islam. Untuk memudahkan pemahaman, pendekatan yang digunakan adalah melalui analisis perbandingan dengan system ekonomi konvensional.






I. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Perbedaan Ekonomi Islam dan Konvensional

1. Sumber (Epistemology) dan Tujuan Kehidupan

Ekonomi Islam berasaskan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Perkara-perkara asas muamalah dijelaskan di dalamnya dalam bentuk suruhan dan larangan. Suruhan dan larangan tersebut bertujuan untuk pembangunan keseimbangan rohani dan jasmani manusia berasaskan tauhid.

Ekonomi konvensional lahir berdasarkan pemikiran manusia yang bisa berubah berdasarkan waktu sehingga tidak bersifat kekal dan selalu membutuhkan perubahan-perubahan.

Tujuan yang tidak sama tersebut akan melahirkan implikasi yang berbeda. Pakar ekonomi Islam bertujuan untuk mencapai al-falah di dunia dan akhirat, sedangkan pakar ekonomi konvensional mencoba menyelesaikan segala permasalahan yang timbul tanpa ada pertimbangan mengenai soal ketuhanan dan keakhiratan tetapi lebih mengutamakan untuk kemudahan dan kepuasan manusia di dunia saja. Ekonomi Islam meletakan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini dimana segala bahan-bahan yang ada di bumi dan di langit adalah diperuntukan untuk manusia, firman Allah SWT dalam QS an-Nahl ayat 12-13:

“ Dan dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya), (QS an-Nahl:12)
Dan dia (menundukan pula) apa yang dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhna pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran (QS an-Nahl:13)”


Harta dalam ekonomi islam bukan tujuan kehidupan tetapi sebagai jalan untuk mencapai nikmat dunia akhirat. Sedangkan ekonomi konvensional meletakan keduniawian sebagai tujuan utama yang mengutamakan kepentingan individu atau golongan tertentu serta menindas golongan atau individu yang lemah.

2. Masalah Kelangkaan dan Pilihan

Dalam ekonomi konvensional masalah ekonomi timbul karena adanya kelangkaan sumber daya yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Dalam Islam, kelangkaan sifatnya relatif bukan kelangkaan yang absolut dan hanya terjadi pada satu dimensi ruang dan waktu tertentu dan kelangkaan tersebut timbul karena manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengelola sumberdaya yang telah diciptakan Allah.

Kelangkaan membutuhkan pengetahuan untuk melakukan pilihan. Dalam ekonomi konvensional, masalah pilihan sangat tergantung pada macam-macam sifat individu. Mereka mungkin tidak memperhitungkan persyaratan-persyaratan masyarakat. Dalam ekonomi Islam, kita tidak berada pada kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber semau kita. Dalam hal ini ada pembatasan yang tegas berdasarkan kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah atas tenaga individu. Dalam Islam kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian rupa, sehingga dengan pengaturan kembali keadaannya, tidak seorangpun menjadi lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk di dalam kerangka Al Qur’an atau Sunnah.

3. Konsep Harta dan Kepemilikan

Semua harta baik benda maupun alat produksi adalah milik Allah (QS al-Baqaroh ayat 284) dan manusia adalah khalifah atas harta miliknya (QS al-Hadid ayat 7). Maksud dari kalimat tersebut adalah bahwa semua harta yang ada ditangan manusia pada hakekatnya kepunyaan Allah, karena Dia yang menciptakan. Akan tetapi, Allah memberikan hak kepada manusia untuk memanfaatkannya.



Jelaslah bahwa dalam Islam kepemilikan pribadi, baik atas barang-barang konsumsi ataupun barang-barang modal, sangat dihormati walaupun hakikatnya tidak mutlak, dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain dan dengan ajaran Islam. Sementara dalam ekonomi kapitalis, kepemilikan bersifat mutlak dan pemanfaatannya pun bebas, sedangkan dalam ekonomi sosialis justru sebaliknya, kepemilikan pribadi tidak diakui, yang ada kepemilikan negara.

Salah satu karakteristik ekonomi Islam mengenai harta yang tidak terdapat dalam perekonomian lain adalah Zakat. Sistem perekonomian diluar Islam tidak mengenal tuntutan Allah kepada pemilik harta, agar menyisihkan sebagian harta tertentu sebagai pembersih jiwa dari sifat kikir, dengki, dan dendam. Jika dalam ekonomi konvensional pemerintah memperoleh pendapatan dari sumber pajak, bea cukai dan pungutan, maka Islam lebih memperkayanya dengan zakat, jizyah, kharas (pajak bumi) dan pampasan perang.

4. Konsep Bunga

Suatu system ekonomi Islam harus bebas dari bunga (riba) karena riba merupakan pemerasan kepada orang yang terdesak atas kebutuhan. Islam sangat mencela penggunaan modal yang mengandung riba. Dengan alasan inilah, modal telah menduduki peranan penting dalam ekonomi Islam. (tambahin dong)


B. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam


1. Pengertian Ekonomi Islam

Ekonomi Islam adalah suatu ilmu yang multidimensi/interdisiplin, komprehensif dan saling terintegrasi, meliputi ilmu syariah yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunah, dan juga ilmu rasional (hasil pemikiran dan pengalaman manusia), dimana dengan ilmu ini manusia dapat mengatasi masalah-masalah keterbatasan sumberdaya untuk mencapai falah.


Falah yang dimaksud adalah mencakup keseluruhan aspek kehidupan manusia, yang meliputi aspek spiritualitas, moralitas, ekonomi, sosial, budaya, serta politik baik yang dicapai didunia maupun di akhirat.
(Mustafa Edwin Nasution & tim)

Ekonomi Islam adalah ekonomi yang memiliki empat nilai utama, yaitu: Rabbaniyyah, Ahlak, Kemanusian dan Pertengahan, dimana nilai-nilai ini menggambarkan kekhasan atau keunikan yang utama bagi ekonomi Islam.

Nilai-nilai ekonomi Islam itu adalah:

a. Ekonomi Ilahiah, karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridha Allah dan cara-caranya tidak bertentangan dengan syari’atNya. Kegiatan ekonomi, baik produksi, konsumsi, penukaran, dan distribusi, diikatkan pada prinsip Ilahiah dan pada tujuan Ilahiah, sebagaimana firman-Nya:

“Dia-lah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah dari sebagian rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu kembali setelah dibangkitkan” (QS al-Mulk:15)

Ekonomi dalam pandangan Islam bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi merupakan kebutuhan manusia dan sarana yang lazim baginya agar bisa bertahan hidup dan bekerja untuk mencapai tujuannya yang tinggi.. Ekonomi merupakan sarana penunjang baginya dan menjadi pelayan bagi aqidah dan risalahnya. Islam adalah sistem yang sempurna bagi kehidupan, baik kehidupan pribadi, umat, kehidupan semua segi seperti pemikiran, jiwa, dan ahlak. Juga pada segi kehidupan dibidang ekonomi, social maupun politik.

Ekonomi adalah bagian dari Islam. Ia adalah bagian yang dinamis dan bagian yang sangat penting, tetapi bukan asas dan dasar bagi bangunan Islam, bukan titik pangkal ajarannya, bukan tujuan risalahnya, bukan ciri peradabannya dan bukan pula cita-cita umatnya



Ekonomi Islam adalah ekonomi yang memiliki pengawasan internal atau hati nurani, yang ditumbuhkan oleh iman didalam hati seorang muslim, dan menjadikan pengawas bagi dirinya. Hati nurani seorang muslim tidak akan mengizinkan untuk mengambil yang bukan haknya, memakan harta orang lain dengan cara yang batil, juga tidak memanfaatkan keluguan dan kelemahan orang yang lemah, kebutuhan orang yang mendesak, atau memanfaatkan krisis makanan, obat-obatan, dan pakaian dalam masyarakat. Seorang muslim tidak akan memanfaatkan kesempatan untuk meraup milyaran rupiah dari kelaparan orang yang lapar dan penderitaan orang yang menderita.

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada Hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian dari harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahuinya”, (QS al-Baqarah:189)

b. Ekonomi Ahlak, Bahwa ekonomi Islam memadukan antara ilmu dan ahlak, karena, ahlak adalah daging dan urat nadi kehidupan Islami. Karena Risalah adalah risalah ahlak, sesuai sabda Rasulullah saw:

“Sesungguhnya tiadalah aku diutus, melainkan hanya untuk menyempurnakan ahlak”, (al-Hadits)

Sesungguhnya Islam sama sekali tidak mengizinkan ummatnya untuk mendahulukan kepentingan ekonomi di atas pemeliharaan nilai dan keutamaan yang diajarkan agama.

Kesatuan antara ekonomi dan ahlak ini akan semakin jelas pada setiap langkah-langkah ekonomi, baik yang berkaitan dengan produksi, distribusi, peredaran, dan konsumsi. Seorang muslim – baik secara pribadi maupun secara bersama-sama – tidak bebas mengerjakan apa saja yang diinginkannya atau apa yang menguntungkannya.

Masyarakat muslim juga tidak bebas sebebas-bebasnya dalam memproduksi berbagai macam barang, mendistribusikan, mengeluarkan dan mengkonsumsinya, tetapai terikat oleh undang-undang Islam dan hukum syari’atnya.

c. Ekonomi Kemanusiaan, ekonomi Islam adalah ekonomi yang berwawasan kemanusiaan, karena tidak ada pertentangan antara aspek Ilahiah dengan aspek kemanusiaan, karena menghargai kemanusiaan adalah bagian dari prinsip Ilahiah yang telah memuliakan manusia dan menjadikannya sebagai Khalifah-Nya dimuka bumi ini. Jika prinsip-prinsip ekonomi Islam berlandaskan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, yang merupakan nash-nash Ilahiah, maka manusia adalah pihak yang mendapatkan arahan (mukhathah) dari nash-nash tersebut. Manusia berupaya memahami, menafsirkan, menyimpulkan hukum, dan melakukan analogi (qiyas) terhadap nash-nash tersebut. Manusia pula yang mengusahakan terlaksananya nash-nash tersebut dalam realitas kehidupan. Manusia dalam system ekonomi adalah sasaran, sekaligus merupakan sarana.

Ekonomi islam juga bertujuan untuk memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya yang disyari’atkan. Manusia perlu hidup dengan pola kehidupan yang Rabbani dan sekaligus manusiawi, sehingga ia mampu melaksnakan kewajibannya kepada Tuhannya, kepada dirinya, kepada keluarganya, dan kepada sesama manusia.

“… Sesungguhnya Aku jadikan di muka bumi ini Khalifah..” (QS al-Baqarah: 30)

Nilai kemanusiaan terhimpun dalam ekonomi Islam pada sejumlah nilai yang ditunjukkan Islam di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Dengan nilai tersebut muncul warisan yang berharga dan peradaban yang istimewa.

d. Ekonomi Pertengahan, artinya bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi yang berlandaskan pada prinsip pertengahan dan keseimbangan yang adil. Islam menyeimbangkan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat. Di dalam individu diseimbangkan antara jasmani dan ruhani, antara akal dan hati, antara realita dan fakta.

Dalam bidang ekonomi kita menemukan pelaksanaan prinsip keseimbangan pada semua bidang. Ia menyeimbangkan antara modal dan aktifitas, antara produksi dan konsumsi, antara barang-barang yang diproduksi antara satu dengan yang lainnya.

Ekonomi Islam tidak pernah melupakan unsur materi, pentingnya materi bagi kemakmuran dunia, kemajuan ummat manusia, realisasi kehidupan yang baik baginya, dan membantu melaksanakan kewajibannya. Akan tetapi Islam senantiasa mempertegas bahwa kehidupan ekonomi yang baik, walaupun merupakan tujuan Islam yang dicita-citakan, bukanlah tujuan akhir. Ia, pada hakikatnya, adalah sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih jauh.

Sedangkan ekonomi Islam menjadikan tujuan di balik kesenangan dan kesejahteraan kehidupan adalah meningkatkan jiwa dan ruh manusia menuju kepada Tuhannya. Manusia tidak boleh disibukkan semata oleh usaha pencarian kemenangan dan materi, sehingga lupa akan ma’rifah kepada Allah, ibadah kepada-Nya, berhubungan baik dengan-Nya dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang lebih baik dan lebih kekal.
(Dr, Yusuf Qardhawi)


“Islamic Economics is the knowledge and applications and rules of the syariah that prevent injustice in the requisition and disposal of material resources in order to provide satisfaction to human being and enable them to perform they obligation to Allah and the society”
(Hasanuz Zaman)

“Islamic economics is the Muslim thinker”response to the economic challenges of their times. In this endeavor they were aided by the Quran and the Sunna as well as by reason and experience”
(M Nejatullah Siddiqi)




“Islamic Economics aims at the study of human falah (well being) achieved by organizing the resources of the earth on basis of cooperation and participation”
(M Akram Khan)


2. Prinsip-Prinsip Dasar

Prinsip-prinsip Ekonomi Islam itu secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:

Ekonomi Islam memiliki sifat dasar sebagai ekonomi Rabbani dan Insani. Disebut ekonomi Rabbani karena sarat dengan arahan dan nilai-nilai Ilahiah. Dikatakan ekonomi Insani karena system ekonomi ini dilaksanakan dan ditujukan untuk kemakmuran manusia.

Keimanan sangat penting dalam ekonomi Islam karena secara langsung akan mempengaruhi cara pandang dalam membentuk kepribadian, perilaku, gaya hidup, selera dan preferensi manusia. Berbeda dengan paham naturalis yang menempatkan sumberdaya sebagai factor terpenting atau paham monetaris yang menempatkan model financial sebagai yang terpenting, dalam ekonomi Islam sumber daya insani menjadi faktor terpenting. Manusia menjadi pusat sirkulasi manfaat ekonomi dari berbagai sumber daya yang ada.

Dalam Ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan secara bersama di dunia yaitu untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Namun yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut akan dipertanggung-jawabkannya di akhirat nanti.
Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama, kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan Kedua, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.

Kekuatan penggerak utama Ekonomi Islam adalah kerjasama. Seorang muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah SWT dalam Al Qur'an: 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan dengan suka sama suka diantara kamu…' (QS 4 : 29).

Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Al Qur'an mengungkap kan bahwa, 'Apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari penduduk negeri-negeri itu, adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu…' (QS 57:7). Oleh karena itu, Sistem Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan dengan Sistem Ekonomi Kapitalis, dimana kepemilikan industri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tidak terkecuali industri yang merupakan kepentingan umum.

Islam menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari Sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa, "Masyarakat punya hak yang sama atas air, padang rumput dan api" (Al Hadits). Sunnah Rasulullah tersebut menghendaki semua industri ekstraktif yang ada hubungannya dengan produksi air, bahan tambang, bahkan bahan makanan harus dikelola oleh negara. Demikian juga berbagai macam bahan bakar untuk keperluan dalam negeri dan industri tidak boleh dikuasai oleh individu.

Orang muslim harus takut kepada Allah dan hari akhirat, seperti diuraikan dalam Al Qur'an sebagai berikut: 'Dan takutlah pada hari sewaktu kamu dikembalikan kepada Allah, kemudian masing-masing diberikan balasan dengan sempurna usahanya. Dan mereka tidak teraniaya…' (QS 2:281). Oleh karena itu Islam mencela keuntungan yang berlebihan, perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua bentuk diskriminasi dan penindasan.

Seorang muslim yang kekayaannya melebihi tingkat tertentu (Nisab) diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan harta tersebut), yang ditujukan untuk orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Menurut pendapat para alim-ulama, zakat dikenakan 2,5% (dua setengah persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif (Idle Assets), termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas, perak dan permata, pendapatan bersih dari transaksi (Net Earning from Transaction), dan 10% (sepuluh persen) dari pendapatan bersih investasi.

Islam melarang setiap pembayaran bunga (Riba) atas berbagai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman, perusahaan perorangan, pemerintah ataupun institusi lainnya. Al Qur'an secara bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang bunga. Hal ini dapat dilihat dari turunnya ayat-ayat Al Qur'an secara berturut-turut dari QS 39:39, QS 4:160-161, QS 3:130-131 dan QS 2:275-281.

II. KESIMPULAN

Ekonomi Islam sangat berbeda dengan ekonomi konvensional, dimana ekonomi konvensional lahir dari pemikiran manusia yang bisa berubah berdasarkan waktu sehingga tidak bersifat kekal dan selalu membutuhkan perubahan-perubahan, sedangkan ekonomi Islam adalah ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai utama seperti Rabbaniyyah, ahlak, kemanusian dan pertengahan.

Ekonomi Islam didasari oleh pokok-pokok petunjuk, kaidah-kaidah pasti, arahan-arahan prinsip yang bersumberkan dari nash-nash Qur’an dan Hadist yang bersifat kekal tidak akan mengalami perubahan.

Ekonomi konvensional muncul sebagai akibat dari kelangkaan sumber daya dibandingkan dengan keinginan manusia yang serba tidak terbatas, sementara ekonomi Islam tidak menjadikan kelangkaan dan pemenuhan keinginan manusia menjadi penyebab timbulnya permasalahan ekonomi, melainkan hanya bersifat relatif bukan absolute dan hanya terjadi pada suatu dimensi ruang dan waktu.


III. REFERENSI


a. Dr. Yusuf Qhardawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam
b. Mustafa Edwin Nasution, Nurul Huda, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada Media Group, Juli 2006.
c. Drs. Zainul Arifin, MBA Prinsip-prinsip Operasional Bank IslamWednesday, 22 November 2000 www.tazkiaonline.com
d. Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori Ke Praktik, Tazkia Institute dan Gema Insani, Maret 2001.
e. N.Gregory Mankiw, Principles of Economics, Harcourt College Publishers
f. Achyar Eldine, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, wacana.

No comments: